Berkebun bukan aktifitas yang aneh bagi para santri di Pondok Pesantren Riyadul Ulum Wadda'wah, Tasikmalaya. Bahkan, kegiatan seperti bertanam, memupuk, menyiangi tanaman, dan penyemprotan adalah rutinitas mereka, selain belajar agama. Soal beternak gurame, para santri sama 'hapal luar kepala'-nya dengan penguasaan bahasa Arab mereka.
Ponpes yang terletak di Kampung Condong RT 01/RW 04 Kelurahan Setianegara, Kecamatan Cibeureum, Kota Tasikmalaya ini lebih dikenal dengan nama Ponpes Condong. Masyarakat sekitar juga lebih familiar dengan nama itu. Maklum saja, nama Riyadul Ulum Wadda'wah itu sendiri baru dikukuhkan awal tahun 1970.
Di Ponpes Condong itu semua santrinya diwajibkan untuk mengusai bidang perkebunan, pertanian, dan perikanan dengan cara langsung mempraktikkannya. Meski setiap sore harus bergelut dengan kebun dan kolam, para santri selalu meningkat pengetahuan agamanya, selain tetap mahir berbahasa Inggris dan Arab.
"Kami tidak ingin santri yang keluar dari sini, tidak bisa dan tidak mengenal sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan. Makanya disini para santri dikenalkan pada lingkungan lewat kebun, kolam dan lain-lainnya," papar Mahfud Farid, salah seorang putra pengasuh Ponpes Condong, KH Makmun, yang juga Kepala Sekolah SMU Terpadu.
Salah seorang santri asal Bekasi, Lia, mengaku, kegiatan berkebun itu merupakan aktivitas keseharian yang digelutinya secara serius. Ia menganggap berkebun adalah 'ilmu' baru yang belum pernah diperoleh sebelumnya. "Di sini saya belajar bagaimana cara berkebun yang benar. Ini hal baru bagi saya, apalagi langsung diterapkan pula," jelasnya.
Diakui Lia, sejak mondok di Ponpes Condong dirinya semakin rajin memperdalam dan menggali ilmu-ilmu terapan, meski ilmu agama tetap merupakan prioritas utamanya. "Awalnya saya masuk ke pondok ini hanya bermaksud untuk belajar ilmu agama saja. Tapi ternyata, semua pengetahuan diberikan secara terpadu di sini. Alhamdulillah,'' tambahnya.
Hal serupa diakui salah seorang santri asal Singapura, Rafidah. Putri kedua dari pasangan Muhammad Abu dan Zuhaeni ini mengaku, ia ibrata mendapat durian runtuh. ''Tak hanya ilmu agama saja yang saya dapat dan dipelajarinya. Tapi, banyak hal yang sudah saya pelajari,'' ujar siswi kelas 1 SMA RUW ini.
Hal yang berkesan di ponpes ini, bagi Rufaidah, adalah penguasaan bahasa Arab. ''Dulu saya tidak menguasainya. Namun kini saya sudah bisa berbincang-bincang dengan teman dalam bahasa Arab, sedangkan sehari-hari saya menggunakan bahasa Sunda," kata Rafidah diiringi senyum rekan-rekannya.
Lain lagi pengakuai Zumarifi, santri lasal Palembang. ''Beternak gurame!'' jawabnya cepat, saat ditanya apa yang disukainya selama di Ponpes Condong. Membesarkan gurame, kata dia, membutuhkan ketelatenan. Dia memahami arti "sabar" yang sebenarnya dengan beternak dan berkebun.
''Hasil dari kebun dan kolam air tawar ini lumayan juga, sebab dapat membantu konsumsi para santri,'' ujar remaja yang mengaku makin dewasa dan mandiri sesudah nyantri ini. Memang, hasil pertanian itu mereka gunakan untuk konsumsi pondok. Sisanya, baru dibawa ke pasar untuk dijual.
Sudah 'berumur'
Ponpes Condong cukup terkenal se-antero Tasikmalaya. Maklum saja, pesantren yang berdiri tahun ini termasuk pesantren tertua di kabupaten itu. Pesantren yang berdiri di atas lahan seluas 2 hektar yang diwakafkan Bupati Sumedang (saat itu-red), Pangeran Kornel, kepada KH Adra'i. Kini ponpes itu dipimpin oleh generasi ke-5, yaitu KH Makmun.
Pemimpin pertama ponpes adalah KH Nawawi yang juga sebagai pendirinya. Tongkat estafet pimpinan pondok kemudian diteruskan putranya, KH Adra'i. Dari KH Adra'i diteruskan oleh putranya KH Hasan Muhammad yang kemudian dilanjutkan lagi oleh KH Najmudin. Dari mulai tahun 1985 hingga sekarang, pucuk pimpinan Ponpes Riyadul Ulum Wadda'wah berada ditangan KH Makmun.
''Dulu letaknya tidak disini, tapi lebih dekat ke pinggir jalan raya. Tapi saat itu, kami diminta pindah, karena saat itu ada isu akan datang hujan batu,'' urai KH Makmun, saat ditemui Republika bulan lalu. Saat ini Pondok Pesantren Riyadul Ulum Wadda'wah sudah dilengkapi dengan 15 lokal asrama putra, 12 lokal asrama putri dengan 2 lantai serta 24 lokal kelas untuk belajar para santrinya. Ditambah 1 masjid untuk putra dan 1 musala untuk santri putri.
Hingga kini, jumlah santri yang ada di ponpesnya adalah 589 orang. Mereka datang dari berbagai penjuru daerah, baik Jawa maupun luar Jawa, bahkan ada yang datang dari beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Program unggulan ponpes selain ilmu agama dan bahasa, juga pengenalan wawasan lingkungan.epe/dokrep/April 2005
Ponpes yang terletak di Kampung Condong RT 01/RW 04 Kelurahan Setianegara, Kecamatan Cibeureum, Kota Tasikmalaya ini lebih dikenal dengan nama Ponpes Condong. Masyarakat sekitar juga lebih familiar dengan nama itu. Maklum saja, nama Riyadul Ulum Wadda'wah itu sendiri baru dikukuhkan awal tahun 1970.
Di Ponpes Condong itu semua santrinya diwajibkan untuk mengusai bidang perkebunan, pertanian, dan perikanan dengan cara langsung mempraktikkannya. Meski setiap sore harus bergelut dengan kebun dan kolam, para santri selalu meningkat pengetahuan agamanya, selain tetap mahir berbahasa Inggris dan Arab.
"Kami tidak ingin santri yang keluar dari sini, tidak bisa dan tidak mengenal sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan. Makanya disini para santri dikenalkan pada lingkungan lewat kebun, kolam dan lain-lainnya," papar Mahfud Farid, salah seorang putra pengasuh Ponpes Condong, KH Makmun, yang juga Kepala Sekolah SMU Terpadu.
Salah seorang santri asal Bekasi, Lia, mengaku, kegiatan berkebun itu merupakan aktivitas keseharian yang digelutinya secara serius. Ia menganggap berkebun adalah 'ilmu' baru yang belum pernah diperoleh sebelumnya. "Di sini saya belajar bagaimana cara berkebun yang benar. Ini hal baru bagi saya, apalagi langsung diterapkan pula," jelasnya.
Diakui Lia, sejak mondok di Ponpes Condong dirinya semakin rajin memperdalam dan menggali ilmu-ilmu terapan, meski ilmu agama tetap merupakan prioritas utamanya. "Awalnya saya masuk ke pondok ini hanya bermaksud untuk belajar ilmu agama saja. Tapi ternyata, semua pengetahuan diberikan secara terpadu di sini. Alhamdulillah,'' tambahnya.
Hal serupa diakui salah seorang santri asal Singapura, Rafidah. Putri kedua dari pasangan Muhammad Abu dan Zuhaeni ini mengaku, ia ibrata mendapat durian runtuh. ''Tak hanya ilmu agama saja yang saya dapat dan dipelajarinya. Tapi, banyak hal yang sudah saya pelajari,'' ujar siswi kelas 1 SMA RUW ini.
Hal yang berkesan di ponpes ini, bagi Rufaidah, adalah penguasaan bahasa Arab. ''Dulu saya tidak menguasainya. Namun kini saya sudah bisa berbincang-bincang dengan teman dalam bahasa Arab, sedangkan sehari-hari saya menggunakan bahasa Sunda," kata Rafidah diiringi senyum rekan-rekannya.
Lain lagi pengakuai Zumarifi, santri lasal Palembang. ''Beternak gurame!'' jawabnya cepat, saat ditanya apa yang disukainya selama di Ponpes Condong. Membesarkan gurame, kata dia, membutuhkan ketelatenan. Dia memahami arti "sabar" yang sebenarnya dengan beternak dan berkebun.
''Hasil dari kebun dan kolam air tawar ini lumayan juga, sebab dapat membantu konsumsi para santri,'' ujar remaja yang mengaku makin dewasa dan mandiri sesudah nyantri ini. Memang, hasil pertanian itu mereka gunakan untuk konsumsi pondok. Sisanya, baru dibawa ke pasar untuk dijual.
Sudah 'berumur'
Ponpes Condong cukup terkenal se-antero Tasikmalaya. Maklum saja, pesantren yang berdiri tahun ini termasuk pesantren tertua di kabupaten itu. Pesantren yang berdiri di atas lahan seluas 2 hektar yang diwakafkan Bupati Sumedang (saat itu-red), Pangeran Kornel, kepada KH Adra'i. Kini ponpes itu dipimpin oleh generasi ke-5, yaitu KH Makmun.
Pemimpin pertama ponpes adalah KH Nawawi yang juga sebagai pendirinya. Tongkat estafet pimpinan pondok kemudian diteruskan putranya, KH Adra'i. Dari KH Adra'i diteruskan oleh putranya KH Hasan Muhammad yang kemudian dilanjutkan lagi oleh KH Najmudin. Dari mulai tahun 1985 hingga sekarang, pucuk pimpinan Ponpes Riyadul Ulum Wadda'wah berada ditangan KH Makmun.
''Dulu letaknya tidak disini, tapi lebih dekat ke pinggir jalan raya. Tapi saat itu, kami diminta pindah, karena saat itu ada isu akan datang hujan batu,'' urai KH Makmun, saat ditemui Republika bulan lalu. Saat ini Pondok Pesantren Riyadul Ulum Wadda'wah sudah dilengkapi dengan 15 lokal asrama putra, 12 lokal asrama putri dengan 2 lantai serta 24 lokal kelas untuk belajar para santrinya. Ditambah 1 masjid untuk putra dan 1 musala untuk santri putri.
Hingga kini, jumlah santri yang ada di ponpesnya adalah 589 orang. Mereka datang dari berbagai penjuru daerah, baik Jawa maupun luar Jawa, bahkan ada yang datang dari beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Program unggulan ponpes selain ilmu agama dan bahasa, juga pengenalan wawasan lingkungan.epe/dokrep/April 2005