DI Jawa Barat, barangkali hanya Pesantren Cipasung dan Suryalaya yang dikenal luas. Di Cipasung pada Desember 1994 lalu, Nahdlatul Ulama menggelar muktamar dan memilih kembali Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PB NU. Sementara, tuan rumah, KH Ilyas Ruchiyat, terpilih sebagai Rois Aam NU.
Pesantren Suryalaya yang diasuh oleh Abah Anom dikenal luas sebagai tempat rehabilitasi penderita narkotika. Sudah banyak "pasien" narkotika yang sembuh setelah mondok di Suryalaya.
Tapi siapa yang mengenal Pesantren Condong? Jika tak ada Peristiwa Tasikmalaya, barangkali pesantren yang hanya punya sekitar 300 santri ini tak akan pernah dikenal. Condong terkenal karena tiga pengasuh pondok itu -- Ustadz Mahmud Farid, Habib, Ihsan -- terkena musibah dianiaya polisi di Polres Tasikmalaya.
Jika bicara soal jumlah santri, tentu saja Condong termasuk pesantren kecil bila dibandingkan dengan Cipasung atau Suryalaya yang punya ribuan santri. Keduanya juga kondang karena figur kiainya di tingkat nasional. Abah Anom, misalnya, sempat beberapa kali bertemu Presiden Soeharto. KH Ilyas Ruchiyat pun sangat dikenal, lebih-lebih setelah menjabat Rois Aam PB NU.
Pesantren Condong, yang nama resminya adalah Riyadhul Ulum wad Da’wah, letaknya di kampung Condong, Desa Setianegara, kira-kira enam kilometer arah Timur kota Tasikmalaya. Pesantren ini diapit oleh pesantren salaf (tradisional) lainnya yaitu Pesantren Bantar Gedang dan Pesantren Bahrul Ulum Awipari. Uniknya, tak seperti pesantren lain yang punya batas khusus, Pesantren Condong tidak menempati kompleks khusus, tetapi langsung berbaur dengan masyarakat.
Usia Pesantren Condong ini sudah cukup tua. Didirikan oleh KH. Muhamad Nawawi, yang terkenal dengan sebutan Eyang Anwi yang berasal dari Rajapolah, perbatasan Tasikmalaya-Ciamis, sekitar tahun 1800-an. Pada waktu itu, Eyang Anwi memperoleh tanah wakaf dari Pangeran Kornel, Bupati Sumedang saat itu. Atas petunjuk pimpinan pondok pada saat itu, maka lokasi pondok pesantren itu dipindahkan ke lokasi sekarang.
Salah seorang putera KH. Muhamad Nawawi adalah Muhamad Arif yang dikenal dengan nama Haji Adra’i, yang sudah pernah mondok di berbagai pesantren di Jawa dan Madura. Di kemudian hari, sekitar tahun 1930, salah seorang cucu Haji Adra'i, yakni Najmuddin diberi kepercayaan untuk memimpin pesantren yang letaknya di samping rel kereta api ini. Kala itu usia Najmuddin masih sangat muda, sekitar 15 tahun.
Setelah KH Najmuddin wafat pada tahun 1986, dan tidak meninggalkan keturunan, pesantren dipimpin oleh adik Najmuddin yaitu KH Makmun. Hingga sekarang KH Makmun-lah yang memegang tampuk pimpinan pesantren. KH Makmun menikah dengan Oyom Maryam dan dikaruniai 11 orang anak, empat orang putra dan tujuh orang putri. Kiai Makmun sudah punya 43 orang cucu dan 16 orang cicit. Salah satu anak KH Makmun adalah Ustadz Mahmud Farid, korban penganiayaan di Polres Tasikmalaya tadi.
Kendati hanya pesantren kecil, santri Condong berasal dari berbagai daerah. Selain dari Jawa Barat, juga ada yang berasal dari Kalimantan, Timor Timur, Sulawesi dan dua orang dari Malaysia. Condong saat itu punya 16 orang ustadz. Di ponpes Condong terdapat juga santri yang juga siswa sekolah umum, bahkan beberapa mahasiswa Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya ada yang "nyantri" di sana. Karena memang lokasi pesantren ini berdekatan dengan beberapa sekolah negeri dan berdekatan dengan kampus Unsil.
Sistem pendidikan yang diterapkan merupakan perpaduan antara salafiyah (tradisional) dan a’shriyah (modern). Ada pula pengkajian dan pemahaman agama melalui kitab kuning dari tingkatan terendah sampai tertinggi. Dalam mempelajari agama ini, pesantren Condong ini tidak megkhususkan mempelajari satu bidang misalnya fiqh, akan tetapi semua bidang agama dikaji di Condong.
Dalam soal organisasi, Condong termasuk maju. Di sana sudah lama ada dewan santri dengan nama Organisasi Santri Pesantren Condong (OSPC). Sedangkan untuk mengkoordinasikan kegiatan guru di lingkungan pesantren dibentuk pula dewan guru (ustadz) yang dibina oleh KH. Drs. Endang Rahmat dan KH. Drs. Mahmud Farid.
Sebagaimana umumnya sebuah lembaga pendidikan, di pesantren inipun berlaku peraturan yang harus dipatuhi para santri. Pengawasan terhadap peraturan yang berlaku itu diawasi oleh dewan keamanan pesantren. Apabila terjadi pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi atau hukuman yang sudah disepakati berdasarkan musyawarah pesantren antara OSPC dan dewan ustadz.
Hukuman untuk Rizal, anak Kopral Nursamsi, yang kedapatan mencuri uang santri dan dihukum rendam dan diceples adalah contoh sanksi itu. Tapi sanksi atau hukuman itu tidak berat dan hanya merupakan pelajaran agar si pelaku tidak mengulangi perbuatannya. "Biasanya kalau kita menerapkan sanksi itu, pihak keluarga tidak pernah mempersoalkan. Karena itu untuk kebaikan si santri. Tapi untuk kasus Rizal ini, kita juga tidak memperkirakan akan menjadi begini. Namun kami mengambil hikmahnya saja," kata KH. Drs. Endang Rahmat menjelaskan tentang sanksi yang diterapkan di pesantrennya itu.
Toh dari kacamata santri, semua kejadian bisa dipetik hikmahnya. "Ya, hikmahnya adalah Pesantren Condong menjadi terkenal," ujar KH. Drs. Endang agak berseloroh.